Bak kacang tak lupa kulitnya, Go
Hengky Setiawan mengaku tak bisa melupakan masa mudanya di tahun 70-an.
Berkeliling Pulau Jawa, bahkan sampai ke Bali membawa koper-koper
berisi sepatu kulit yang akan dijualnya ke toko-toko. Usianya waktu
itu masih 18 tahun, baru lulus SMA.
Lahir
di Ambulu, Jember, Jawa Timur, Go Hengky Setiawan tumbuh di Surabaya.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) hingga SMA, ia besar dan
menempuh pendidikannya di kota tersebut. Meski terhitung keluarga
pengusaha, anak ke-10 dari 11 bersaudara ini lebih memilih menjadi
wirausahawan ketimbang kuliah yang berbiaya besar.
"Saya memang tidak kuliah. Tahun
1977 itu, begitu lulus langsung dagang sepatu. Saya berdua sopir
keliling Jawa. Satu kali kami berdua pernah ngebut dengan mobil
malam-malam dari Solo ke Salatiga. Itu untuk mengejar waktu, takut
tokonya sudah tutup," kenang Hengky, panggilan akrabnya.
Hengky mengakui, usaha home industry yang
dijalaninya itu memang butuh perjuangan. Setelah lebih kurang lima
sampai enam tahun berjalan, usaha itu akhirnya kandas. Kredit macet
menjegal keuntungannya.
"Ternyata bisnis sepatu memang
tidak gampang. Banyak toko yang utang bayar, sementara lama-lama modal
saya habis. Bagaimana tidak, wong ongkos produksinya dibayar kontan, tapi begitu pembayarannya malah diutangi terus," kata lelaki kelahiran 8 Januari 1957 ini.
Kredit macet tak bisa dihindari.
Banyak toko langganannya ingkar janji dengan mengulur-ngulur waktu
pembayaran yang mestinya maksimal jatuh tempo hanya tiga bulan. Di
sisi lain, pabriknya terus produksi dan tetap mengeluarkan ongkos
operasional. Hengky pun memutuskan menutup pabrik sepatu itu.
Kapok? Nyatanya, tidak. Selepas
itu, Hengky banting stir ke bisnis furnitur. Ia mendirikan toko di
Surabaya. "Saya menjual barang-barang furnitur milik kakak dari kakak
ipar saya. Furniturnya dari Taiwan," tutur Hengky.
Hasilnya, bisnis ini pun tidak
sukses ia jalani. Sampai akhirnya, pada 1988, Hengky memutuskan pindah
ke Jakarta. Di kota ini, ia malah terjun ke bidang properti. Ia ikut
pamannya, Mukmin Ali Gunawan, pemilik Bank Panin yang juga berbisnis
properti.
"Properti itu bisnis yang bagus, karena sejak dulu harga tanah tidak pernah turun dan tak bisa lagi diproduksi," ujarnya.
Sejak itulah, sosok Hengky terus
berkibar dengan bisnis barunya, bisnis properti. Dari hanya sebagai
pengusaha sepatu kecil, kemudian berbisnis furnitur impor, kini ia
menjadi seorang CEO dengan beragam proyek, mulai ruko sampai apartemen.
Baginya, apapun yang ia lakukan di masa muda adalah pelajaran hidup
yang selalu berharga di masa depan.
Menjadi CEO
Perusahaan properti Agung Sedayu
adalah batu pijakan Hengky terjun ke dunia properti. Di sini, ia
mengalami masa-masa keemasan. Sampai akhirnya, pada 1994, Hengky
merintis sendiri perusahaan barunya, Binakarya Propertindo Group (BPG).
"Proyek pertamanya itu di
Pademangan, bikin ruko. Kemudian menyusul Apartemen Gunung Sahari, ruko
dan kantor Victorian Bintaro, dan Perumahan Cibubur Village di
Jakarta Timur, lalu town house Royal Spring Residence di Jakarta Selatan," ujar Hengky.
Namun, hanya dua tahun kemudian,
cobaan kembali menerjang. Tahun 1998, krisis moneter menerpa Indonesia.
Nilai properti yang dibangunnya seolah tak ada harganya, meskipun
rupiah sangat bernilai di dalam negeri.
"Karena bunga rupiah waktu itu bisa mencapai 70 persen. Saat itu, memang utang membengkak," ujarnya.
Berbekal pengalaman masa muda,
Hengky tak patah arang. Usahanya tetap ia lakoni dengan terus menjual
produk-produknya. Saat itu, bisnis properti memang harus menelan pil
pahit karena perusahaan hanya sanggup membayar bunga, sementara jualan
propertinya tidak laku. Nyaris, tak ada pemasukan ke kantong
perusahaannya.
Toh, sampai saat ini bendera
perusahaan yang ia dirikan masih tetap berdiri, karena akhirnya badai
krisis moneter (krismon) 1998 itu berhasil ia lalui. Meskipun mengaku
rugi, arus dana perusahaannya aman dan tak punya sepeser pun utang bank.
"Sekarang ini kami tak lagi khawatir soal krisis Eropa, kita sudah punya pengalaman di '98. Saat ini capital in flow di
Indonesia sedang bagus-bagusnya. Investor juga senang, mereka datang
tinggal dan lihat mana tawaran yang menguntungkan karena bunganya di
sini bagus, 7 - 8 persen," kata Hengky.
Penghargaan
Hengky mengaku optimistis, bisnis
properti Indonesia ke depan masih akan terus bersinar. Hal itu karena
nilai properti di Tanah Air masih tergolong murah, sementara di Eropa
sangat mahal. Untuk itu, kata dia, BPG terus mengembangkan
proyek-proyeknya, mulai ruko sampai rusun, dari apartemen menengah
sampai premium.
Bagi konsumen menengah misalnya,
lanjut Hengky, BPG membangun rumah susun sederhana milik (rusunami)
yang diawali dengan meluncurkan Gateway Apartment di Cileduk, Jakarta
Selatan. Dari proyek itu, BPG kemudian membangun Cibubur Village
Apartment di Jakarta Timur, serta Casablanca East Residence di Selatan.
BPG kemudian juga berekspansi dengan membangun Pluit Sea View di
Jakarta Utara.
Tak hanya Jakarta. BPG pun
kemudian melirik Bandung dengan membangun apartemen menengah, yaitu
Gateway Apartment@Bandung. Di Kota Kembang ini Gateway
Apartment@Bandung tak hanya sukses dalam penjualan, namun juga meraih
penghargaan "The First Sky Garden Apartment Concept" di ajang 6th
Property and Bank Award 2011, awal September lalu di Jakarta.
"Di sini itu melaksanakan green building masih
setengah-setengah, belum semua orang mau mengaplikasikan pada
bangunannya. Kami, dengan konsep ini, justru bisa memanfaatkan bagian
atas bangunan yang kerap tak pernah dipakai. Di sini kami buatkan
taman dan ini sangat cocok dengan Bandung karena pemandangannya memang
bagus," ungkap Hengky.
Tak puas dengan Gateway Apartment@Bandung, BPG kembali membangun Gateway Pasteur. Lokasinya tepat di gerbang kota ini.
Hengkyu menuturkan, tak hanya hunian vertikal, karena BPG juga ikut bermain di landed house atau
residensial dengan membangun Golden Palm Residence dan Park
Residecence di Jakarta Barat. Sementara di Watu Jimbar, BPG juga
membangun kondotel eksklusif di Sanur, Bali.
"Tak bermaksud mengecilkan
Jakarta, sebab Bandung dan Bali pun prospek yang sangat besar untuk
dunia properti. Sebagai salah satu tujuan wisata favorit di dunia,
Bali sebagai lokasi investasi tentu jadi yang terbaik. Sementara
Bandung, buat kami sangat visible, karena orang Bandung juga mulai menyukai bangunan tinggi," ujarnya.
Tahun ini, selain tengah
menyiapkan Pluit Sea View di Pluit, Jakarta Utara, BPG juga tengah
berancang-ancang menggarap Bekasi Town Square (Betos). Pada proyek
superblok ini, lanjut Hengky, BPG akan membangun pasar bersih, waterboom, apartemen, serta hotel.
"Reputasi dan kepercayaan itu
nilai yang sangat berharga dan harus saya pertahankan. Karena dua hal
itulah yang akan menjadikan pengembang bisa dipercaya atau tidak
sebagai partner abadi dalam dunia properti," ucap Hengky. (*/kompas)
SUMBER : http://ciputraentrepreneurship.com/manufaktur/12717-penjual-sepatu-yang-kini-menjadi-ceo-sukses.html